Terkadang perempuan mengambil obat begitu saja saat merasa sedikit sakit
atau tidak enak badan. Tapi terlalu sering minum obat diduga malah
bikin perempuan sakit.
Obat penghilang rasa sakit dan obat
jantung adalah jenis obat yang paling sering dikonsumsi perempuan.
Ditengarai sebelum dilempar ke pasar, obat ini tidak diujicobakan kepada
kaum perempuan, termasuk ibu hamil. Karena itu peneliti menduga
perempuanlah yang paling berisiko terkena efek samping obat tersebut
ketimbang laki-laki. Jadi semakin sering mengonsumsi obat, maka efek
sampingnya akan semakin terasa.
"Perempuan berisiko dua kali
lebih mungkin mengalami efek samping dari obat yang diresepkan kepada
laki-laki," ucap Dr Anita Holdcroft, seorang konsultan anestesi di
Imperial College London seperti dikutip dari Daily Mail, Senin
(12/11/2012).
Dr Holdcroft mempelajari jumlah resmi terbaru yang
melaporkan efek samping obat dan dirilis pada awal tahun ini oleh
pengawas obat resmi, Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency
(MHRA). Dokter dan pasienlah yang melaporkan efek samping obat kepada
agen.
Beberapa pasien pria juga terpapar efek samping obat
tersebut. Namun skala paparan efek samping pada perempuan berbeda dengan
laki-laki. Bisa jadi hal ini terjadi karena perempuan memandang efek
samping obat sebagai hal yang berbeda dengan laki-laki. Atau bisa jadi
juga karena perempuan lebih waspada terhadap respons tubuhnya. Namun hal
ini belum diteliti dengan baik.
Bahkan obat yang paling umum,
obat penghilang rasa sakit seperti non-steroid anti-inflamasi, belum
diketahui bagaimana obat tersebut mempengaruhi perempuan secara berbeda.
"Meskipun obat ini berpotensi berbahaya," kata Dr Holdcroft, yang
merupakan anggota dari Yayasan Perempuan Medis, organisasi dokter
perempuan terbesar di Inggris.
Sebenarnya tidak ada hambatan
hukum bagi perempuan yang berpartisipasi dalam uji klinis suatu obat.
Akan tetapi dalam praktiknya, perempuan masih dikecualikan dalam uci
coba di industri farmasi. Hal ini terutama saat uji keselamatan obat
dilakukan pada manusia untuk pertama kalinya, di mana dosisnya pun
ditingkatkan secara bertahap.
"Perempuan lebih variabel sebagai
subyek penelitian. Mereka memiliki siklus hormonal dan melahirkan anak.
Tanggapan mereka terhadap obat juga dapat berubah lagi setelah
menopause," terang Dr Holdcroft.
Untuk menghindari pengujian yang
bervariasi, maka peneliti enggan menggunakan perempuan dalam uji coba
klinis. Sebab pengujian yang bervariasi itu justru akan mempersulit
hasil uji coba. Tentunya hal ini menjadi sesuatu yang tidak diinginkan
oleh perusahaan obat.
Apalagi setelah uji klinis selesai
dilakukan dan hasilnya aman bagi manusia, maka perusahaan obat bisa
segera menunjukannya kepada regulator. Selanjutnya bisa dikeluarkan
lisensi penggunaan obat itu untuk keperluan komersial.
Konsultan
farmasi independen, Dr Peter Dewland, yang telah terlibat dalam lebih
dari 100 percobaan obat manusia mengatakan hampir semua uji coba obat
dilakukan pada laki-laki. Hal itu sesuai permintaan produsen obat.
Laki-laki dinilai lebih stabil ketimbang perempuan.
Adanya efek
pada kesuburan akibat uji coba obat juga belum cukup diteliti, sehingga
penelitian lebih banyak menggunakan laki-laki. Namun demikian, Dr
Dewland berpendapat sebaiknya uji klinis semua obat harus pula melibatkan perempuan.
Perempuan
yang umumnya bertubuh lebih kecil dan lebih ringan bobotnya ketimbang
laki-laki seharusnya mendapat dosis yang berbeda. Selain itu penyerapan
obat dan reaksi obat pada perempuan juga berbeda.